Thursday, February 21, 2013

KRISIS



Banjir kiriman yang melanda beberapa area di Jakarta di bulan Januari lalu akibat curah hujan yang tinggi di hulu sungai-sungai yang bermuara di teluk Jakarta sudah dapat diperkirakan. Tidak berfungsinya drainase, perubahan pemanfaatan tanah yang peruntukan seharusnya merupakan area terbuka hijau serta hilangnya beberapa situ yang mampu menyerap dan menyimpan air hujan, terjadinya penurunan permukaan tanah di Jakarta baik sebagai akibat intrusi air laut ke dalam rongga-rongga lapisan tanah karena penyedotan air tanah yang tidak terkendali sehingga praktis beberapa area tersebut sudah berada di bawah permukaan laut ketika terjadi pasang laut , dan masih adanya kebiasaan buruk warga yang membuang sampah ke sungai, menjadikan semakin tingginya potensi terjadi banjir yang berulang dan dengan skala yang lebih luas.

Apabila kita mencermati berita-berita di surat kabar dan berbagai media elektronik, ada beberapa faktor penyebab sama seperti diuraikan di atas yang menjadi penyebab terjadinya juga banjir di banyak daerah-daerah lain di Indonesia. Ada tambahan penyebab seperti penebangan dan perambahan hutan serta penambangan yang tidak terkendali tanpa disertai proses reboisasi yang memadai sehingga area dan daya dukung hutan-hutan berkurang sangat drastis dari tahun ke tahun.

Belum lagi tentang adanya dampak pemanasan global sebagai akibat efek gas rumah kaca yang kemudian menyebabkan laju pencairan lapisan gunung es meningkat drastis sehingga permukaan air laut semakin tinggi. Pemanasan global tersebut adalah dampak langsung dari industrialisasi maupun dari rumah tangga serta meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor dengan bahan bakar fosil.

Kita bisa mempertanyakan apakah banjir yang terjadi di banyak tempat di Indonesia dan juga di banyak negara lain tersebut masih dapat dikategorikan sebagai bencana alam atau bencana akibat ulah kurang bijaksana manusia?

Banjir yang terjadi tersebut telah dan akan mengakibatkan gangguan pada sistem transportasi dan juga keadaan-keadaan kritis lainnya sebagai akibat lanjutan adanya genangan banjir tersebut seperti ketiadaan listrik, terganggunya pasokan air bersih dan gangguan pada fasilitas infrastruktur lainnya. Belum lagi kehilangan harta benda hingga bahkan nyawa. 

Keadaan kritis tersebut bisa dengan cepat berkembang menjadi situasi krisis apabila terjadi berlarut-larut dan tanpa upaya-upaya pencegahan maupun penanggulangan yang segera.


Perusahaan-perusahaan multinasional dan perusahaan-perusahaan yang memiliki skala nasional mungkin sudah memiliki manajemen krisis namun bagi dunia usaha pada umumnya yang belum memiliki tentunya hal-hal tersebut harus menjadi sebuah peringatan akan perlunya untuk melakukan penelaahan, mempersiapkan atau bahkan merancang ulang program penanganan krisis yang telah ada. 

Banyak contoh bagaimana penanganan yang tidak memadai atas situasi kritis yang terjadi mengakibatkan situasi krisis hingga bahkan menjatuhkan reputasi organisasi hingga yang berdampak negatif pada keberlangsungan organisasi. Kodak merupakan hanya salah satu contoh perusahaan yang berkembang pesat dan bertahan dalam posisi terdepan selama hampir 8 dekade karena riset, invensi dan inovasi namun dalam perjalanan kurun waktu beberapa dekade terakhir justeru kurang memiliki kepekaaan serta respon yang seharusnya terhadap situasi-situasi kritis yang ditimbulkan oleh  perkembangan teknologi dan persaingan sehingga akhirnya tutup.

Ada beberapa tahapan yang dapat mengakibatkan situasi kritis menjadi krisis yang bahkan dapat menenggelamkan perusahaan sebagai berikut:

  1. Keyakinan Berlebihan: Sebuah sikap yang terlalu menganggap remeh segala sesuatu hingga sikap arogan, yang mungkin disebabkan karena kesuksesan-kesuksesan yang telah dicapai sebelumnya, yang dapat dikategorikan sebagai kelalaian untuk bersikap waspada.
  2. Penyangkalan dan Defensif: Sudah muncul perasaan terkejut namun masih ada keenganan untuk menyadari adanya keadaan kritis dan bahkan “menutup-mata” dan adanya anggapan seolah-olah “situasi kritis tersebut tidak akan mengakibatkan dampak negatif pada perusahaan” atau mungkin saja sudah muncul “pengakuan” namun hanya sebatas ungkapan tanpa tindakan seperti “tidak disangka akibatnya bisa berkembang hingga sedemikian namun kita berharap bahwa keadaan tidak seburuk yang kelihatan.”
  3. Respon berupa Rencana dan Tindakan: Kenyataan keadaan di lapangan yang mungkin saja sudah berkembang menjadi lebih buruk dan bahkan sangat buruk sehingga berdampak negatif pada perusahaan baru pada akhirnya membuka mata dan mendorong dilakukannya tindakan yang seringkali juga bahkan mengakibatkan keadaan krisis menjadi lebih parah.

Sikap yang tidak seharusnya berupa keyakinan berlebihan serta penyangkalan dan defensif merupakan penyebab-penyebab utama keadaan krisis yang dapat menyebabkan posisi perusahaan sangat terancam serta menyulitkan langkah-langkah responsif yang kemudian dilakukan untuk dapat keluar dari keadaan krisis.

Dalam tahapan melakukan tindakan korektif tersebut bisa saja ditemukan fakta-fakta keadaan di lapangan yang sangat luar biasa menantang dan seperti tidak mungkin untuk bisa diatasi oleh perusahaan. Akan amat sangat sulit bagi perusahaan apabila tidak ingin disebutkan sebagai misi penyelamatan yang tidak mungkin untuk menyelamatkan reputasi demi kelangsungan hidup perusahaan, apabila sudah terbentuk persepsi bahwa situasi krisis yang dihadapi perusahaan diakibatkan karena sikap-sikap dari para pemilik, pimpinan dan manajemen perusahaan dalam menyikapi situasi kritis yang kemudian berkembang menjadi krisis. Hal ini dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat khususnya pelanggan dan juga pemasok, dan berbagai pihak ketiga lainnya yang pada akhirnya dapat berujung pada kegagalan perusahaan untuk terus bertahan.

Namun demikian apabila keadaan krisis tersebut lebih diakibatkan oleh kurangnya kompetensi atau kesigapan dalam menghadapi situasi kritis, maka dalam melakukan respon berupa rencana dan tindakan perusahaan masih mungkin untuk dapat memunculkan kembali sikap optimis dan harapan dengan memberikan jaminan dan kepastian kepada para pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya bahwa “perusahaan akan mampu menangani krisis.”


Tidak ada satu celah sekecil apapun yang boleh diabaikan.

Dalam keadaan krisis, para pimpinan dalam perusahaan harus mengambil langkah-langkah alternatif secara komprehensif dan terkoordinasi baik sehingga tidak terjadi kepanikan seperti kecemasan para pelanggan akan pasokan, kekuatiran para karyawan akan kelangsungan hidup perusahaan, kepercayaan para pemegang saham, bahkan hingga adanya upaya-upaya dari para pesaing yang dapat secara tidak langsung mempergunakan situasi krisis yang dihadapi perusahaan sebagai peluang untuk mengambil pangsa pasar. 

Komunikasikan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan secara terbuka dan konsisten. Buat pemberitahuan resmi mengenai tenggat waktu tindakan awal untuk dapat secara realistis mengatasi situasi krisis tersebut misalnya 24-jam atau 48-jam, sehingga akan sangat membantu pemulihan kepercayaan terhadap perusahaan

Tentunya tindakan-tindakan nyata yang disertai sikap sungguh-sungguh dalam menangani krisis tersebut sangat perlu dapat dilihat dan didengar oleh publik.

Bila perusahaan akhirnya dapat melewati krisis tersebut, untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukan, yang perlu dilakukan dengan segera adalah menjadikan kejadian tersebut sebagai pelajaran penting untuk tidak sampai terulang di waktu yang akan datang. Namun bukan laporan-laporan apalagi slogan-slogan yang diperlukan tetapi sebuah kodifikasi/penyusunan dari tindakan-tindakan penanganan krisis dan hal pertama yang sangat penting adalah adanya upaya-upaya pencegahan terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan berkembangnya keadaan kritis menjadi sebuah krisis atau bahkan krisis yang multi-dimensional.

Selain keharusan penyusunan sistem penanganan krisis yang memadai, penting untuk dipahami bahwa setiap krisis bukan saja mengakibatkan kerugian dalam aspek operasional dan keuangan banyak pihak tetapi juga akan meninggalkan bekas luka psikologis sehingga segera setelah perusahaan berhasil menangani krisis merupakan waktu yang tepat juga bagi perusahaan untuk meninjau ulang program kemasyarakatan yaitu CSR atau Corporate Social Responsibility.

Memang ada ungkapan bahwa dalam setiap keadaan krisis akan disertai kesempatan/oportunitas, namun kita perlu secara bijaksana menyikapi setiap keadaan kritis yang dapat dipastikan selalu akan ada agar tidak berkembang menjadi krisis sebab ungkapan tentang ada kesempatan dalam setiap krisis tersebut mungkin lebih pas bagi para pesaing perusahaan anda.


No comments: