Thursday, August 15, 2013

0,004




Juara pertama Kejuaraan Dunia Atletik tahun lalu untuk nomor lari 400 meter putri terlihat memimpin jalannya lomba sejak garis start dan terus berlari penuh keyakinan diri akan kembali menempati urutan pertama dalam perlombaan tahun ini. Namun pada jarak sekitar 30 meter dari garis finish, pelari yang berada pada posisi ke 5 mampu meningkatkan kecepatan larinya sehingga melewati 3 pelari di depannya dan pada saat melewati garis finish secara kasat mata terlihat berbarengan dengan pelari yang menjadi juara pertama tahun lalu. Pada saat pengumuman, juara dunia tahun lalu tersebut tercengang saat melihat namanya berada di urutan kedua walaupun terpampang catatan waktu yang sama-sama 49,41 detik. 

Tanpa penggunaan teknologi visual berupa rekaman foto dan video pada garis finish, waktu 4 perseribu detik yang tentu sangat sulit dilihat secara kasat mata namun dalam final lomba lari 400 meter putri di Kejuaraan Dunia Atletik 2013 Moskow, terjadi selisih waktu 0,004 detik yang jauh lebih cepat dibandingkan satu kedipan mata tersebut antara dua pelari yang menempati urutan pertama (49,404 detik) dan urutan kedua (49,408 detik).

Apabila kita membandingkan tingkat kegembiraan di antara para peraih medali pada sebuah perlombaan, peraih medali emas tentu juga menempati urutan pertama dalam hal kegembiraan. Yang menarik adalah bahwa peraih medali perunggu yang menempati urutan kedua dalam hal kegembiraan, dan yang memasuki garis finish pada urutan kedua atau peraih medali perak justeru akan merasa kurang dapat menikmati hasil yang dicapainya.

Pikiran manusia memang secara konstan membandingkan apa yang sesungguhnya telah terjadi dengan apa yang diharapkan seharusnya terjadi.
 
Peraih medali perunggu akan berpikir bahwa dia hampir saja tidak meraih medali dan oleh sebab itu dia merasa sangat gembira karena dapat berdiri di podium.  Sedangkan peraih medali perak bahkan ketika berdiri di podium akan memikirkan ulang semua kemungkinan kesalahan yang telah dia lakukan maupun berbagai “kalau saja” skenario pada saat perlombaan maupun sebelumnya sehingga berakibat pada kegagalannya meraih medali emas.

Saturday, August 10, 2013

PEMIMPIN BERKUALITAS



 
10 CIRI UTAMA

#1.
Memiliki pengetahuan yang bukan hanya didapatkan dari pendidikan formal maupun buku-buku referensi maupun pengalaman orang-orang lain akan tetapi merupakan gabungan dari ketiga jenis pengetahuan tersebut dengan pengalaman menerapkan dalam kehidupan pribadi merupakan dasar untuk menjadi seorang pemimpin berkualitas. Dengan pengetahuan berbalut pengalaman yang dimiliki tersebut, seorang pemimpin akan berani menetapkan sasaran-sasaran yang tinggi namun tetap realistis.

#2.
Kebijaksanaan yang dimiliki menjadikan seorang pemimpin akan selalu berpikir jauh dan mendalam. Bagi seorang pemimpin yang memiliki kebijaksanaan, faktor-faktor etika serta rekam jejak sama pentingnya seperti pendapat dan data dalam pembuatan keputusan.

#3.
Tegas dan penuh determinasi.  Dalam bisnis dan kehidupan lebih sering ditemukan banyak hal yang masuk kategori abu-abu atau tidak terlalu jelas sehingga tidak mudah untuk membuat keputusan segera padahal dalam banyak situasi diperlukan pembuatan keputusan walaupun informasi yang tersedia tidak lengkap. Dalam banyak situasi, sebuah keputusan yang dibuat walaupun tidak sempurna selalu akan lebih baik dibandingkan keadaan terombang-ambing tanpa keputusan. Seorang pemimpin harus mampu mengatasi naluri untuk menunda yang biasa dimiliki seorang yang pandai, lalu membuat keputusan setelah melakukan konsultasi dengan beberapa pihak terkait.

#4.
Memiliki kepercayaan kepada orang-orang merupakan prasyarat kepemimpinan yang sejati karena tanpa adanya kepercayaan tersebut, hubungan bisa penuh dengan kecurigaan dan tidak mungkin dilakukan upaya-upaya pemberdayaan yang dapat menjadikan seorang pemimpin memiliki tim yang kuat. Hanya dengan memiliki kepercayaan kepada orang-orang yang dipimpinnya, seorang pemimpin akan dapat menciptakan pemimpin-pemimpin baru.

#5.
Percaya diri yang disertai kerendahan hati merupakan padanan yang langka karena rasa percaya diri yang besar seringkali membuat seorang pemimpin menjadi kurang peka. Namun sesungguhnya kedua hal tersebut merupakan kualitas yang saling melengkapi karena seorang pemimpin yang memiliki rasa percaya diri baru dapat menjadi seorang yang juga rendah hati tanpa kuatir dianggap lemah. Para pemimpin yang percaya diri dan memiliki kemampuan tidak pernah segan untuk menanyakan pendapat orang-orang lain dan bersedia untuk mengubah haluan untuk mengikuti informasi benar yang mereka terima. Orang-orang dengan kepemimpinan lemah yang menduduki jabatan pimpinan akan berusaha menutupi kekurangan dengan bersikap arogan. Kekuatiran akan terkuaknya kelemahan membuat mereka memilih sikap angkuh untuk menutupi kegamangan yang termanifestasikan dalam sikap sombong dan arogan tersebut.

#6.
Optimis akan segala hal baru maupun dalam menghadapi tantangan-tantangan serta dalam mengatasi berbagai kesulitan. Para pemimpin yang optimis selalu melihat segala sesuatu dalam kelimpahan sehingga selalu berpikir positif dan tidak pernah ragu untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman.

#7.
Mendengarkan orang-orang lain dengan empati merupakan ciri yang mudah terlihat karena kemampuan untuk bersikap tegas, komunikatif dan segera membuat keputusan yang memang diharapkan dari seorang pemimpin berawal dari kemampuannya membuat analogi dari informasi yang didapatkan. Dengan sering mendengarkan dari banyak pihak, seorang pemimpin akan kaya dengan informasi dari berbagai sudut pandang.

#8.
Integritas dan stabilitas emosi dimana integritas berarti memiliki kompas moral, mengutamakan  kualitas dibandingkan hanya kuantitas, bersikap adil, berlaku sopan dan memiliki sikap profesional sedangkan stabilitas emosi berarti sikap positif dan tidak mempersoalkan kesalahan-kesalahan masa lalu atau kuatir tanpa sebab yang jelas tentang masa depan.

#9.
Egaliter atau memperlakukan orang-orang lain dengan kesetaraan dan tanpa memandang status mereka adalah ciri kepribadian yang selalu ada pada para pemimpin yang tidak mementingkan jabatan dan gelar dalam berhubungan dengan orang-orang dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari sehingga para pemimpin dengan sikap egaliter ini memiliki hubungan baik dengan banyak sekali pihak.

#10.
Kemampuan untuk memberikan bimbingan dalam pengarahan tugas maupun memberi umpan balik manakala diperlukan sering membantu para pemimpin terhindar dari berbagai permasalahan operasional karena orang-orang yang menerima penugasan dengan sasaran-sasaran yang penuh tantangan akan melakukan tugas mereka dengan rasa tanggung jawab tinggi dan penuh keyakinan karena merasa memiliki seorang pemimpin yang akan dapat mereka jadikan guru pembimbing manakala kesulitan-kesulitan menghadang dalam pelaksanaan.

KERJA RODI





Saya selalu tersenyum bila teringat saat bertahun-tahun lalu ketika beberapa rekan sekantor bergurau bahwa saya adalah seorang pemimpin yang menciptakan suasana kerja rodi alias kerja paksa.



Ketika menjabat sebagai pimpinan waktu itu, saya memang memberikan bentuk jelas untuk menyampaikan secara langsung bahwa diperlukan perubahan mendasar dari sikap dan perilaku yang ada dalam perusahaan, tidak cukup melalui upaya-upaya operasional untuk memperbaiki profitabilitas yang tenggelam di bawah permukaan dan produktivitas perusahaan rendah. Untuk dapat mengubah sikap akan diperlukan tantangan-tantangan yang masif yang akan membutuhkan kerja keras.
 
Produktivitas yang mendukung profitabilitas bila dirumuskan adalah  kemampuan X kemauan X sikap. 

Untuk variable sikap, kita dapat mempergunakan konstanta antara 0 hingga 1. Sehingga untuk tidak sampai menjalani sebuah produktivitas atau bahkan kehidupan yang zero-sum, maka seorang pemimpin perlu memprioritaskan waktunya dalam memastikan orang-orang yang dipimpinnya memiliki sikap positif dan konstanta sikap tidak bisa nol walaupun 0 adalah bilangan positif karena seberapapun besarnya kemampuan dan kemauan akan tidak artinya bila tanpa adanya sikap yang mendukung.

Kepemimpinan yang baik sesungguhnya tidak muncul oleh karena kharisma, pesona, janji-janji apalagi bentuk pemaksaan. Walaupun ada sebagian besar orang-orang memang mengikuti pemimpin mereka karena rasa takut atas konsekuensi ketidakpatuhan, atau karena janji-janji akan ganjaran keberhasilan, namun kepemimpinan yang terbaik haruslah didasarkan pada rasa hormat atau respek, yang pasti paling efektif kendati memang paling tidak mudah didapatkan.

Para pemimpin yang baik mesti menetapkan ekspektasi-ekspektasi yang tinggi namun realistis untuk dapat direalisasikan bersama dengan orang-orang yang mereka pimpin karena lewat sasaran-sasaran yang membutuhkan upaya fisik dan mental, orang-orang akan menjadi tertantang untuk maju. Goethe mengatakan: “Treat a man as he is, and he will remain as he is; treat a man as he can and should be, and he will become as he can and should be.”