Thursday, January 17, 2013

OPTIMIS



HABIS GELAP TERBITLAH TERANG


Dalam ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dimana dari seluruh negara yang menjadi anggotanya ada lebih kurang 600 juta jiwa dan nilai perdagangan lebih dari 2 triliun dolar Amerika, Indonesia adalah salah satu dari 5 besar klasifikasi negara ekonomi berkembang yang memiliki sumber daya alam melimpah dan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dari 9 negara lainnya sehingga pasar dalam negeri merupakan peluang amat besar. Karena kedua faktor tersebut juga, Indonesia memiliki daya tarik besar bagi para investor asing untuk menanamkan modal.

Walaupun IMF (International Monetary Fund) beberapa waktu yang lalu memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia menjadi 6,7% dari sebelumnya 7,1% untuk tahun 2012 dan untuk 2013 menjadi 7,2% dari sebelumnya 7,5%  karena adanya prospek perlambatan pada 2 negara yang lebih maju perekonomiannya di Asia yaitu India dan Cina, serta adanya krisis di beberapa negara Eropa, tetapi peluang pasar dalam negeri yang besar tetap memberikan harapan akan tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Namun demikian tetap saja ada banyak pemilik, pimpinan dan eksekutif perusahaan yang berpandangan bahwa perekonomian di tahun 2013 akan melambat lebih signifikan dibandingkan prediksi yang dibuat oleh para ekonom dari badan dunia tersebut.

Ada banyak penyebab terdapatnya sikap tersebut antara lain adalah berita-berita surat kabar yang berkonotasi negatif tentang prediksi pencapaian pertumbuhan ekonomi tahun 2012 maupun prediksi pertumbuhan ekonomi 2013, adanya kenaikan UMP yang signifikan dan juga rencana kenaikan tarif listrik, demonstrasi buruh pabrik, birokrasi yang lamban dan korup, infrastruktur yang jauh dari semestinya, dan faktor-faktor internal perusahaan seperti tingkat produktivitas yang masih rendah dan inefisiensi dalam operasional serta berbagai hal lainnya.

Memang perlu dilakukan pembenahan internal dan mempersiapkan langkah-langkah esensial baik yang taktis maupun strategis untuk menghadapi tantangan eksternal. Dari pernyataan sikap yang sering dikemukakan oleh banyak pemilik dan eksekutif perusahaan, saya dapat menyimpulkan bahwa ternyata faktor yang membuat  mereka memiliki kekuatiran berlebih akan dampak negatif dari berbagai berita tentang faktor eksternal tersebut adalah ekspektasi dan juga sikap mereka yang sering kali kurang optimis menghadapi tantangan bahkan ketika masih berupa prediksi. Mereka sering kali memilih untuk mundur selangkah atau paling tidak menahan langkah mereka dengan pemikiran untuk mempelajari situasi sehingga selain berpikir bahwa hal tersebut lebih aman untuk perusahaan juga mereka pikir bahwa perusahaan akan lebih siap dan oleh karenanya dapat bergerak dengan cepat begitu peluang lebih baik muncul. Kenyataan yang lebih sering tidak seperti apa yang mereka pikirkan sehingga banyak kesempatan  pertumbuhan lebih signifikan menjadi terlewatkan karena peluang diambil oleh para pengusaha yang lebih optimis dalam melihat situasi dan membaca prediksi.

Tentu saja apabila memang faktor-faktor eksternal dan inefisiensi internal tersebut mengancam kelangsungan hidup perusahaan, dan bukan hanya sebuah kekuatiran akibat adanya prediksi, maka segala daya upaya memang perlu untuk diberikan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang menghadang. Tetapi lebih sering terjadi, pemilik/pengusaha  dan para pimpinan/eksekutif perusahaan memilih untuk tetap berada dalam zona nyaman (bukan zona aman) karena mereka kurang memiliki sikap optimis terhadap prediksi maupun dalam menghadapi berbagai situasi dan keadaan yang menghimpit.

Seorang pengusaha sukses menceritakan dalam sambutannya tentang bagaimana beliau melihat sebuah industri yang oleh banyak pengusaha lain dianggap sebagai kurang menguntungkan yang justeru merupakan peluang baginya karena dengan demikian akan sedikit atau bahkan tidak ada persaingan sama sekali sehingga tentunya akan sangat menguntungkan. Kebanyakan orang justeru akan ikut-ikutan memilih industri yang menjanjikan dimana ada sangat banyak pengusaha lain yang ikut bermain sehingga margin keuntungan akan tipis.


Pengalaman penulis sendiri ketika krisis ekonomi dan sosial terjadi pada tahun 1998 dimana pengetatan biaya dan survival mode adalah hal yang lazim diterapkan oleh banyak perusahaan pada tahun tersebut dan tahun-tahun berikutnya. Demikian pula dengan perusahaan multinasional tempat penulis bekerja yang memproduksi dan memasarkan cat dinding merek terkenal di dunia dan di Indonesia dimana kantor pusat menggariskan kebijakan peningkatan efisiensi dan pengetatan biaya termasuk melalui pengurangan tenaga kerja. Saat itu tentu bisa saja memilih posisi yang aman dengan mengikuti arah dan garis kebijakan dari kantor pusat untuk melakukan kebijakan dengan berbagai langkah tersebut. Tentunya langkah pengurangan jumlah karyawan sering kali tidak dapat dihindarkan manakala terjadi penurunan drastis dalam penjualan perusahaan namun hal tersebut perlu dilakukan dengan cermat, karena sebaik apapun persiapan dan komunikasi yang dilakukan, dapat mempengaruhi moral dan kepercayaan serta komitmen para karyawan yang tidak terkena pemutusan hubungan kerja dan hal tersebut tentu tidak akan berdampak baik bagi perusahaan. Dengan sikap optimis dan dengan melihat peluang tetap adanya kebutuhan pasar akan cat dinding untuk segmen pasar lebih bawah dimana memang sebelumnya perusahaan hanya melihat sebagai pelengkap yang memiliki porsi yang sangat kecil dalam perencanaan penjualan perusahaan, penulis mengajukan sebuah usulan untuk mengupayakan sesedikit mungkin pengurangan jumlah karyawan lewat berbagai pengaturan operasional tentunya dengan fokus kepada peningkatan penjualan produk-produk cat yang menempati posisi kedua dan bahkan ketiga dalam portfolio produk perusahaan. Tanggapan yang diberikan kantor pusat pada waktu itu adalah bahwa langkah tersebut kecil kemungkinannya untuk berhasil karena masyarakat akan lebih mempergunakan uang mereka untuk bahan-bahan makanan dan kebutuhan pokok lain dibandingkan membeli cat atau bahan bangunan lainnya. Secara rasional dan logika tentu hal tersebut bisa saja terjadi. Selain itu ada kekuatiran terjadinya efek kanibalisme terhadap merek utama yang dimiliki perusahaan. Penulis yang waktu itu memiliki tanggung jawab untuk pasar cat dekoratif di Indonesia memberikan argumen langsung dan tidak berbelit bahwa bila bukan merek kedua milik perusahaan yang memakan pangsa pasar merek utama perusahaan tentu merek-merek milik para pesaing yang akan memakan pangsa pasar merek utama karena kebutuhan cat untuk perbaikan bangunan-bangunan setelah kerusuhan tetap ada walaupun untuk sementara akan terjadi down grade permintaan ke produk-produk yang lebih terjangkau harganya. Beruntunglah proposal tersebut akhirnya mendapatkan persetujuan dari pimpinan regional. Dengan adanya optimisme tersebut terbukti bahwa merek kedua dan ketiga berhasil menjadi motor penggerak pemulihan perusahaan dan bahkan merek kedua tumbuh lebih dari 300% dalam kurun waktu 3 tahun.

Sikap optimis memang sangat perlu dimiliki oleh para entrepreneur. Pengusaha sukses yang juga adalah seorang dokter tersebut kemudian menyampaikan mengenai prinsip dan pandangannya yang telah membawa dirinya meraih kesuksesan yaitu bahwa bahkan ketika tantangan demi tantangan seperti tidak pernah ada habisnya, beliau terus berupaya dengan kerja lebih keras, mengambil inisiatif dan mencoba berbagai cara inovatif, dan beliau selalu meyakinkan dirinya sendiri dengan sebuah kalimat yang berbunyi “habis gelap terbitlah terang.”

No comments: