Setiap orang, bahkan mereka
yang sudah mencapai tingkat keahlian tinggi di berbagai bidang apapun tetap
akan memiliki kekurangan/ keterbatasan dalam satu dan lain hal. Dan kebanyakan orang
tidak akan mencoba untuk menekuni suatu bidang manakala mereka menyadari bahwa
ada kekurangan
pada diri mereka yang kemungkinan besar akan menjadi penghambat dan mempersulit
upaya mereka untuk meraih keberhasilan dalam bidang tersebut.
Adalah Kim Joo Won, seorang ballerina asal Korea, yang
berhasil meraih beberapa predikat terbaik lewat penampilan-penampilan kompetisi
tarian-tarian ballet klasik yang bahkan tidak
banyak ballerina berbakat mampu untuk dapat melakukannya dengan baik karena tingkat kerumitan dan
kesulitan yang sangat tinggi. Dalam sebuah wawancara dengan saluran telivisi
Arirang, Joo
Won
menceritakan perjalanan awal karirnya dimana dia sadar memiliki cukup banyak
kekurangan dalam hal postur tubuh yang akan dapat mempengaruhi keluwesan gerak
tubuh yang memang sangat dibutuhkan dalam tarian ballet. Joo Won
juga menyadari
bahwa kemampuan menarinya terbilang hanya sedikit di
atas rata-rata saja dan tidak dapat disebut istimewa. Namun kesadaran akan adanya kekurangan
tersebut
justeru menyulut semangat dan
membuatnya berlatih dengan tidak mengenal lelah jauh melampaui persyaratan biasa hingga
larut malam hampir setiap hari. Ketekunan dalam
berlatih dan kecintaannya pada seni tari ballet klasik
terbukti membuatnya berhasil mengubah kekurangan-kekurangan yang ada menjadi kelebihan-kelebihan
yang sangat istimewa.
Sama
dengan Kim Joo Won dan banyak orang lainnya, kita semua juga pasti memiliki kekurangan-kekurangan
yang secara logika akan bisa menjadi penghambat keberhasilan.
Apakah kita menyerah pada keterbatasan
yang ada,
atau bahkan seringkali pada “keterbatasan yang kita ciptakan sendiri dalam pikiran
kita,” ataukah
kita akan memilih menjadi seperti Joo Won
yang berusaha
terus melatih diri secara tekun untuk bukan saja dapat mengatasi keterbatasan/ kekurangan
yang ada tetapi menjadi istimewa, pilihan tentu ada
di tangan kita.
No comments:
Post a Comment