Di awal tahun 1980-an hingga
akhir tahun 1990-an, orang-orang yang termasuk kelompok workaholic, sebuah sebutan bagi mereka yang berada antara 50 hingga
60 jam per minggu dalam lingkungan tempat mereka bekerja, memang sudah ada
namun kelompok tersebut merupakan minoritas.
Namun
sejak awal milenium baru hingga dewasa ini, bukan hanya pada tingkatan para pimpinan dan manajer puncak bahkan
banyak sekali karyawan-karyawan di tingkatan menengah yang bekerja hingga 70
jam dan bahkan lebih perminggu. Hal tersebut berarti
mereka bekerja rata-rata hampir 12 jam perhari – itupun bila perusahaan tempat mereka
bekerja beroperasi hingga 6 hari dalam seminggu. 70 jam kerja seminggu bukan saja terjadi
pada tingkatan para CEO, COO dan manajer di perusahaan-perusahaan multinasional
yang karena adanya perbedaan zona waktu di belahan dunia yang lain di mana
kantor pusat mereka berada, melainkan juga sudah menjadi sesuatu yang lazim di
antara para eksekutif dan manajer di perusahaan-perusahaan nasional. Standar
40 jam kerja per minggu sudah tidak ada dalam kamus mereka.
Seperti para atlit yang
mengikuti sapta
lomba, kejar-kejaran
dengan batas waktu sejumlah banyak proyek, kebutuhan klien/pelanggan yang 24 jam 7 hari seminggu, alur kerja yang tidak bisa diprediksi
sudah seperti sebuah fenomena biasa dan bahkan keharusan bagi mereka.
Dalam pembicaraan terpisah dengan
beberapa orang dalam kategori ini dan dari berbagai industri yang berbeda-beda,
ada beberapa alasan yang mirip yang diutarakan ketika ditanyakan mengenai
kecenderungan bekerja dengan jam kerja sangat panjang tersebut yaitu bahwa mereka menganggapnya sebagai tantangan sekaligus kebutuhan pekerjaan
dalam zaman ini, untuk memacu pencapaian
produktivitas diri dan perusahaan, prestasi,
prestise serta aktualisasi diri, dan tentunya segala
bentuk kompensasi finansial berlimpah yang bisa mereka dapatkan sebagai imbalan
atas kerja super keras yang mereka lakukan.
Ada beberapa karakteristik
yang hampir identik pada aktivitas harian dari mereka yang berada dalam
kelompok sapta lomba ini yaitu hampir
tidak terbatasnya lingkup tugas dan tanggung jawab, adanya acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan bisnis namun hampir
rutin berlangsung di luar jam kerja reguler, begitu padatnya jadwal perjalanan dinas, banyaknya jumlah anak perusahaan yang menjadi tanggung jawab, dan
tentunya secara rutin sekitar 10-jam
atau lebih setiap hari berada di kantor pusat dan anak-anak perusahaan atau kantor
cabang.
Selain hal-hal tersebut, faktor
persaingan bisnis yang semakin ketat memang membuat munculnya kebutuhan untuk
bekerja dalam jumlah jam yang lebih banyak, namun apakah memang demikian seharusnya yang
terjadi dalam kehidupan dunia bisnis?
Kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa mereka yang ada dalam kelompok sapta lomba ini menganggap semua yang
mereka lakukan sebagai sebuah motivasi dan kebanggaan untuk terus lebih
meningkatkan karir mereka melampaui saingan-saingan mereka. Situasi penuh
ambisi tersebut membuat mereka terlihat begitu gemerlapan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
perkembangan teknologi informasi, internet
dan berbagai perangkat digital memberikan sumbangsih dalam penciptaan
kelompok eksekutif sapta lomba tersebut. Teknologi
telah mampu mengubah perilaku dan ekspektasi orang-orang. Pengiriman pesan-pesan
secara instan melalui Blackberry Messenger dan/atau WhatsApp telah sangat mempengaruhi
perubahan perilaku orang-orang. Mereka bahkan telah menyadari akibat negatif
karena intensitas tinggi penggunaan teknologi tersebut namun memilih
mengesampingkan hal tersebut dan menganggapnya sebagai konsekuensi kehidupan
eksekutif modern.
Selain itu seiring dengan
semakin panjangnya jam kerja, kantor telah
berubah menjadi sebuah pusat kegiatan sosial
dimana mereka yang berada di dalam lingkungan tersebut sudah merasa nyaman
berada di dalamnya. Teman-teman kerja di kantor juga sudah
menjadi teman-teman baik dan sebagian jam
kerja di kantor sudah menjadi seperti waktu untuk menggantikan kehidupan sosial
di luar kantor karena adanya kegiatan-kegiatan sosial seperti CSR yang
dilakukan dan demikian pula halnya dengan adanya berbagai pelatihan yang dilakukan bersama baik yang bersifat in-house
maupun outbound. Sehingga jam kerja yang demikian panjang tidak lagi
menjadi beban melainkan menjadi ajang kegiatan yang justeru menyenangkan.
Dalam jangka pendek, kerja
keras 70 jam atau lebih perminggu tersebut mungkin saja akan dapat meningkatkan
kinerja perusahaan. Namun sudahkah dipikirkan mengenai kesinambungan pola kerja demikian dalam jangka panjang serta pencapaian tingkat produktivitas bila
dihubungkan dengan biaya-biaya tinggi yang diakibatkan pola kerja tersebut?
Akan adakah sisi gelap dari
kontinuitas kesibukan walaupun sepertinya sudah tercapai sebuah keteraturan
dalam aspek finansial dan karir, mental dan pendidikan, sosial dan juga kultur
karena adanya berbagai kegiatan dalam perusahaan yang dapat menunjang
aspek-aspek kehidupan tersebut?
Pertanyaannya yang tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan jawabannya adalah bagaimana dengan aspek fisik dan kesehatan, keluarga dan
rumah tangga serta spiritual dan etika?
Beberapa perusahaan
multinasional memang juga telah menyediakan fasilitas-fasilitas olahraga dan
kesenian di kantor yang dapat dipergunakan oleh para karyawan mereka untuk
dapat memenuhi kebutuhan akan hal-hal tersebut.
Namun tentunya pola kerja sapta lomba
sepanjang tahun tersebut dapat dipastikan tidak akan berakibat baik pada
kehidupan keluarga dan rumah tangga dimana waktu dan komunikasi yang diperlukan
untuk membina hubungan yang berkualitas menjadi sangat sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali.
Demikian pula halnya fakta
bahwa manusia yang merupakan makhluk
sosial tidak seharusnya memiliki hubungan yang sangat terbatas dalam lingkup stakeholder
perusahaan saja karena diperlukan adanya interaksi dengan tetangga, kerabat, teman-teman
dan sebagai bagian dari masyarakat.
Kita perlu mengupayakan kehidupan
yang seimbang dengan secara bijak mengatur dan mempergunakan waktu yang ada
untuk seluruh aspek kehidupan yaitu 1)
finansial
dan karir, 2) mental dan pendidikan, 3) fisik dan kesehatan, 4)
sosial
dan kultural, 5) spiritual dan etika, 6)
keluarga
dan rumah tangga – sehingga dapat menjadi manusia seutuhnya (Total PersonTM -
Paul J. Meyer).
Kecuali mungkin saja bila kehidupan
orang-orang dalam setiap perusahaan sudah seperti sebuah komunitas kehidupan
dalam pesawat ruang angkasa besar seperti cerita fiksi pada film Star-Trek.
No comments:
Post a Comment