HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
Dalam ASEAN (Association of
Southeast Asian Nations) dimana dari seluruh negara yang menjadi anggotanya
ada lebih kurang 600 juta jiwa dan nilai perdagangan lebih dari 2 triliun dolar
Amerika, Indonesia adalah
salah
satu dari 5 besar klasifikasi negara ekonomi berkembang yang
memiliki sumber
daya alam melimpah dan jumlah
penduduk yang jauh lebih besar dari 9 negara lainnya sehingga pasar dalam negeri merupakan peluang amat
besar. Karena kedua faktor tersebut juga, Indonesia
memiliki daya tarik besar bagi para investor asing untuk menanamkan modal.
Walaupun IMF (International Monetary Fund) beberapa waktu yang lalu memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang di Asia menjadi 6,7% dari sebelumnya 7,1% untuk tahun 2012 dan untuk
2013 menjadi 7,2% dari sebelumnya 7,5% karena adanya prospek perlambatan pada 2
negara yang lebih maju perekonomiannya di Asia yaitu India dan Cina, serta
adanya krisis di beberapa negara Eropa, tetapi peluang pasar dalam negeri yang besar tetap memberikan harapan akan tingginya
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun demikian tetap saja ada
banyak pemilik, pimpinan dan eksekutif perusahaan yang berpandangan bahwa perekonomian
di tahun 2013 akan melambat lebih signifikan dibandingkan prediksi yang dibuat
oleh para ekonom dari badan dunia tersebut.
Ada banyak penyebab terdapatnya
sikap tersebut antara lain adalah berita-berita
surat kabar yang berkonotasi negatif tentang prediksi pencapaian pertumbuhan
ekonomi tahun 2012 maupun prediksi pertumbuhan ekonomi 2013, adanya kenaikan UMP yang signifikan dan juga rencana kenaikan tarif listrik, demonstrasi buruh pabrik, birokrasi yang lamban dan korup, infrastruktur yang jauh dari semestinya,
dan faktor-faktor internal perusahaan seperti tingkat produktivitas yang masih rendah dan inefisiensi dalam operasional serta berbagai hal lainnya.
Memang perlu
dilakukan pembenahan internal dan mempersiapkan
langkah-langkah esensial baik yang taktis maupun strategis untuk menghadapi tantangan eksternal. Dari pernyataan
sikap yang sering dikemukakan oleh banyak pemilik dan eksekutif perusahaan,
saya dapat menyimpulkan bahwa ternyata faktor
yang membuat mereka memiliki kekuatiran berlebih
akan dampak negatif dari berbagai berita tentang faktor eksternal tersebut
adalah ekspektasi dan
juga sikap mereka yang sering kali kurang optimis menghadapi tantangan bahkan ketika
masih berupa prediksi. Mereka sering kali memilih untuk mundur selangkah
atau paling tidak menahan langkah mereka dengan pemikiran untuk mempelajari
situasi sehingga selain berpikir bahwa hal tersebut lebih aman untuk perusahaan
juga mereka pikir bahwa perusahaan akan lebih siap dan oleh karenanya dapat
bergerak dengan cepat begitu peluang lebih baik muncul. Kenyataan yang lebih
sering tidak seperti apa yang mereka pikirkan sehingga banyak kesempatan pertumbuhan lebih signifikan menjadi
terlewatkan karena peluang diambil oleh para pengusaha yang lebih optimis dalam
melihat situasi dan membaca prediksi.
Tentu saja apabila memang faktor-faktor eksternal dan inefisiensi
internal tersebut mengancam kelangsungan hidup perusahaan, dan bukan hanya
sebuah kekuatiran akibat adanya prediksi, maka segala daya upaya memang perlu
untuk diberikan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang menghadang. Tetapi
lebih sering terjadi, pemilik/pengusaha dan para pimpinan/eksekutif perusahaan memilih
untuk tetap berada dalam zona nyaman
(bukan zona aman) karena mereka kurang memiliki sikap optimis terhadap prediksi
maupun dalam menghadapi berbagai situasi dan keadaan yang menghimpit.
Seorang pengusaha sukses menceritakan
dalam sambutannya tentang bagaimana beliau melihat sebuah industri yang oleh
banyak pengusaha lain dianggap sebagai kurang menguntungkan yang justeru
merupakan peluang baginya karena dengan demikian akan sedikit atau bahkan tidak ada persaingan sama sekali sehingga tentunya
akan sangat menguntungkan. Kebanyakan orang justeru akan ikut-ikutan memilih
industri yang menjanjikan dimana ada
sangat banyak pengusaha lain yang ikut bermain sehingga margin keuntungan akan
tipis.
Pengalaman penulis sendiri ketika
krisis ekonomi dan sosial terjadi pada tahun 1998 dimana pengetatan biaya dan
survival mode adalah hal yang lazim diterapkan oleh banyak perusahaan pada tahun
tersebut dan tahun-tahun berikutnya. Demikian pula dengan perusahaan
multinasional tempat penulis bekerja yang memproduksi dan memasarkan cat dinding
merek terkenal di dunia dan di Indonesia dimana kantor pusat menggariskan kebijakan
peningkatan efisiensi dan pengetatan biaya termasuk melalui pengurangan tenaga
kerja. Saat itu tentu bisa saja memilih posisi yang aman dengan mengikuti arah
dan garis kebijakan dari kantor pusat untuk melakukan kebijakan dengan berbagai
langkah tersebut. Tentunya langkah pengurangan jumlah karyawan sering kali
tidak dapat dihindarkan manakala terjadi penurunan drastis dalam penjualan
perusahaan namun hal tersebut perlu dilakukan dengan cermat, karena sebaik
apapun persiapan dan komunikasi yang dilakukan, dapat mempengaruhi moral dan
kepercayaan serta komitmen para karyawan yang tidak terkena pemutusan hubungan
kerja dan hal tersebut tentu tidak akan berdampak baik bagi perusahaan. Dengan sikap
optimis dan dengan melihat peluang tetap adanya kebutuhan pasar akan cat
dinding untuk segmen pasar lebih bawah dimana memang sebelumnya perusahaan
hanya melihat sebagai pelengkap yang memiliki porsi yang sangat kecil dalam perencanaan
penjualan perusahaan, penulis mengajukan sebuah usulan untuk mengupayakan sesedikit
mungkin pengurangan jumlah karyawan lewat berbagai pengaturan operasional tentunya
dengan fokus kepada peningkatan penjualan produk-produk cat yang menempati
posisi kedua dan bahkan ketiga dalam portfolio produk perusahaan. Tanggapan
yang diberikan kantor pusat pada waktu itu adalah bahwa langkah tersebut kecil kemungkinannya
untuk berhasil karena masyarakat akan
lebih mempergunakan uang mereka untuk bahan-bahan makanan dan kebutuhan pokok
lain dibandingkan membeli cat atau bahan bangunan lainnya. Secara rasional
dan logika tentu hal tersebut bisa saja terjadi. Selain itu ada kekuatiran
terjadinya efek kanibalisme terhadap merek utama
yang dimiliki perusahaan. Penulis yang waktu itu memiliki tanggung jawab untuk
pasar cat dekoratif di Indonesia memberikan argumen langsung dan tidak berbelit
bahwa bila
bukan merek kedua milik perusahaan yang memakan pangsa pasar merek utama
perusahaan tentu merek-merek milik para pesaing yang akan memakan pangsa pasar
merek utama karena kebutuhan cat untuk perbaikan
bangunan-bangunan setelah kerusuhan tetap ada walaupun untuk sementara akan terjadi
down grade permintaan ke produk-produk yang lebih terjangkau harganya. Beruntunglah
proposal tersebut akhirnya mendapatkan persetujuan dari pimpinan regional. Dengan adanya optimisme tersebut terbukti
bahwa merek kedua dan ketiga berhasil menjadi motor penggerak pemulihan
perusahaan dan bahkan merek kedua tumbuh lebih dari 300% dalam kurun waktu 3
tahun.
Sikap optimis memang sangat perlu
dimiliki oleh para entrepreneur. Pengusaha
sukses yang juga adalah seorang dokter tersebut kemudian menyampaikan mengenai prinsip dan
pandangannya yang telah membawa dirinya meraih kesuksesan yaitu bahwa bahkan ketika tantangan demi
tantangan seperti tidak pernah ada habisnya, beliau terus berupaya dengan kerja lebih keras, mengambil inisiatif dan mencoba berbagai cara inovatif, dan beliau selalu meyakinkan dirinya
sendiri dengan sebuah kalimat yang berbunyi “habis gelap terbitlah terang.”
No comments:
Post a Comment