Olimpiade ke 30 tahun 2012 di
London menghasilkan rekor-rekor baru dalam berbagai cabang olahraga dan juga pencapaian
individual yang fantastis seperti yang dicapai oleh perenang Michael Phelps
sebagai peraih medali olimpiade
terbanyak sepanjang sejarah yaitu total
22 medali yang terdiri atas 18 medali emas, 2 perak dan 2 perunggu.
Selain itu ada juga hal-hal yang
tidak seharusnya terjadi dalam upaya menjadi yang terbaik sesuai dengan prinsip
citius, altius, fortius
(lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat) dimana dalam setiap pertandingan atau
perlombaan, semua atlit diharapkan menjunjung tinggi sportivitas
dalam upaya mereka menjadi juara.
Orang-orang yang heroik seperti
John Stephen Akhwari mungkin tidak
banyak jumlahnya. Pelari asal Tanzania tersebut bukan atlit peraih medali pada
Olimpiade 1968. John bahkan adalah pelari terakhir yang memasuki garis finish lomba
lari marathon karena dia mengalami kram dan terjatuh pada kilometer 19 lalu
tertabrak sejumlah pelari lain sehingga terluka di beberapa bagian tubuh dan
kaki. Bayangkan bagaimana dia tetap
menyelesaikan sisa lomba yang masih 23 kilometer dan ketika ditanya mengapa
dia tetap meneruskan lari walaupun kondisi fisiknya tidak memungkinkan, dia menjawab bahwa negaranya tidak mengirimkan dia ke tempat yang 10,000 mil jauhnya hanya
untuk memulai perlombaan tetapi dia dikirim untuk menyelesaikannya.
Namun yang terjadi dalam upaya
untuk menjadi juara pada cabang bulutangkis di Olimpiade London 2012 tersebut bukan
saja sangat jauh dari semangat yang telah ditunjukkan oleh John Stephen Akhwari
tetapi bahkan telah mencederai prinsip sportivitas.
Salah
satu ciri sportivitas adalah sikap lapang dada dalam menerima kekalahan dan
mengakui keunggulan lawan, yang
didasari oleh sifat jujur, disiplin, mengikuti ketentuan dan peraturan yang ada
dan ksatria dalam perlombaan atau pertandingan.
Apa yang dilakukan oleh
beberapa atlit dalam beberapa pertandingan pada cabang bulutangkis yang dengan sengaja
‘mengalah’ kepada lawan memperlihatkan perilaku yang tidak memiliki sportivitas.
Langkah yang dilakukan dalam upaya untuk menghindari pertandingan dengan rekan
senegara pada babak berikutnya tersebut yaitu dimana para atlit tersebut dengan
sengaja melakukan kesalahan-kesalahan agar kalah dalam pertandingan sungguh
telah melanggar prinsip olimpiade maupun olahraga secara umum.
Mungkin saja para atlit
tersebut hanya menjalankan strategi yang diarahkan oleh para ofisial atau
bahkan pelatih mereka. Akan ada juga
yang mungkin beralasan bahwa sistem pertandingan yang menciptakan situasi dan memberikan
peluang untuk melakukan segala cara demi mendapatkan kemenangan namun mengabaikan
sportivitas.
Apakah sistem pertandingan
memang memberikan peluang dan godaan untuk melakukan tindakan yang melecehkan
prinsip sportivitas atau tidak, semua akan kembali kepada diri para atlit dan juga
pelatih serta pengurus yang tentunya harus tetap bisa mempertahankan sifat
jujur dan kesatria serta mengikuti ketentuan/peraturan yang ada.
Kalah secara terhormat jauh lebih bermakna
dibandingkan menang dengan kecurangan.
Sportivitas juga bukan hanya
sebuah keharusan dalam bidang olahraga tetapi juga sebuah sikap dan perilaku
yang diperlukan dalam seluruh aspek kehidupan lainnya.
No comments:
Post a Comment