Banjir kiriman yang melanda
beberapa area di Jakarta di bulan Januari lalu akibat curah hujan yang tinggi
di hulu sungai-sungai yang bermuara di teluk Jakarta sudah dapat diperkirakan. Tidak berfungsinya drainase, perubahan pemanfaatan tanah yang peruntukan
seharusnya merupakan area terbuka hijau serta hilangnya beberapa situ yang
mampu menyerap dan menyimpan air hujan, terjadinya penurunan permukaan tanah di Jakarta baik sebagai akibat
intrusi air laut ke dalam rongga-rongga lapisan tanah karena penyedotan air
tanah yang tidak terkendali sehingga praktis beberapa area tersebut sudah
berada di bawah permukaan laut ketika terjadi pasang laut , dan masih adanya kebiasaan buruk warga yang membuang sampah
ke sungai, menjadikan semakin tingginya potensi terjadi banjir yang
berulang dan dengan skala yang lebih luas.
Apabila kita mencermati
berita-berita di surat kabar dan berbagai media elektronik, ada beberapa faktor
penyebab sama seperti diuraikan di atas yang menjadi penyebab terjadinya juga banjir
di banyak daerah-daerah lain di Indonesia. Ada tambahan penyebab seperti penebangan dan perambahan hutan serta
penambangan yang tidak terkendali tanpa disertai proses reboisasi yang
memadai sehingga area dan daya dukung hutan-hutan berkurang sangat drastis dari
tahun ke tahun.
Belum lagi tentang adanya dampak
pemanasan global sebagai akibat efek gas rumah kaca yang kemudian menyebabkan
laju pencairan lapisan gunung es meningkat drastis sehingga permukaan air laut
semakin tinggi. Pemanasan global tersebut adalah dampak langsung dari industrialisasi
maupun dari rumah tangga serta meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor
dengan bahan bakar fosil.
Kita
bisa mempertanyakan apakah banjir yang terjadi di banyak tempat di Indonesia
dan juga di banyak negara lain tersebut masih dapat dikategorikan sebagai
bencana alam atau bencana akibat ulah kurang bijaksana manusia?
Banjir yang terjadi tersebut
telah dan akan mengakibatkan gangguan pada sistem transportasi dan juga keadaan-keadaan
kritis lainnya sebagai akibat lanjutan adanya genangan banjir tersebut seperti
ketiadaan listrik, terganggunya pasokan air bersih dan gangguan pada fasilitas infrastruktur
lainnya. Belum lagi kehilangan harta benda hingga bahkan nyawa.
Keadaan
kritis tersebut bisa dengan cepat berkembang menjadi situasi krisis apabila terjadi berlarut-larut dan tanpa
upaya-upaya pencegahan
maupun penanggulangan
yang segera.
Perusahaan-perusahaan
multinasional dan perusahaan-perusahaan yang memiliki skala nasional mungkin
sudah memiliki manajemen krisis namun bagi dunia usaha pada
umumnya yang belum memiliki tentunya hal-hal tersebut harus menjadi sebuah
peringatan akan perlunya untuk melakukan penelaahan, mempersiapkan atau bahkan
merancang ulang program penanganan krisis yang telah ada.
Banyak contoh bagaimana penanganan yang tidak memadai atas situasi
kritis yang terjadi mengakibatkan situasi krisis hingga bahkan menjatuhkan
reputasi organisasi hingga yang berdampak negatif pada keberlangsungan organisasi.
Kodak merupakan hanya salah satu contoh perusahaan yang berkembang pesat dan
bertahan dalam posisi terdepan selama hampir 8 dekade karena riset, invensi dan
inovasi namun dalam perjalanan kurun waktu beberapa dekade terakhir justeru
kurang memiliki kepekaaan serta respon yang seharusnya terhadap situasi-situasi
kritis yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi dan persaingan sehingga
akhirnya tutup.
Ada beberapa tahapan yang
dapat mengakibatkan situasi kritis menjadi krisis yang bahkan dapat menenggelamkan
perusahaan sebagai berikut:
- Keyakinan Berlebihan: Sebuah sikap yang terlalu menganggap remeh segala sesuatu hingga sikap arogan, yang mungkin disebabkan karena kesuksesan-kesuksesan yang telah dicapai sebelumnya, yang dapat dikategorikan sebagai kelalaian untuk bersikap waspada.
- Penyangkalan dan Defensif: Sudah muncul perasaan terkejut namun masih ada keenganan untuk menyadari adanya keadaan kritis dan bahkan “menutup-mata” dan adanya anggapan seolah-olah “situasi kritis tersebut tidak akan mengakibatkan dampak negatif pada perusahaan” atau mungkin saja sudah muncul “pengakuan” namun hanya sebatas ungkapan tanpa tindakan seperti “tidak disangka akibatnya bisa berkembang hingga sedemikian namun kita berharap bahwa keadaan tidak seburuk yang kelihatan.”
- Respon berupa Rencana dan Tindakan: Kenyataan keadaan di lapangan yang mungkin saja sudah berkembang menjadi lebih buruk dan bahkan sangat buruk sehingga berdampak negatif pada perusahaan baru pada akhirnya membuka mata dan mendorong dilakukannya tindakan yang seringkali juga bahkan mengakibatkan keadaan krisis menjadi lebih parah.
Sikap yang tidak seharusnya berupa
keyakinan berlebihan serta penyangkalan dan defensif merupakan
penyebab-penyebab utama keadaan krisis yang dapat menyebabkan
posisi perusahaan sangat terancam serta menyulitkan langkah-langkah responsif
yang kemudian dilakukan untuk dapat keluar dari keadaan krisis.
Dalam tahapan melakukan
tindakan korektif tersebut bisa saja ditemukan fakta-fakta keadaan di lapangan yang sangat luar biasa menantang dan
seperti tidak mungkin untuk bisa diatasi oleh
perusahaan. Akan amat sangat sulit bagi perusahaan apabila tidak
ingin disebutkan sebagai misi penyelamatan yang tidak mungkin untuk
menyelamatkan reputasi demi kelangsungan hidup perusahaan, apabila sudah
terbentuk persepsi bahwa situasi krisis
yang dihadapi perusahaan diakibatkan karena sikap-sikap dari para pemilik, pimpinan
dan manajemen perusahaan dalam menyikapi situasi kritis
yang kemudian berkembang menjadi krisis. Hal ini dapat berakibat pada hilangnya
kepercayaan masyarakat khususnya pelanggan dan juga pemasok, dan berbagai pihak
ketiga lainnya yang pada akhirnya dapat berujung pada kegagalan perusahaan
untuk terus bertahan.
Namun demikian apabila keadaan krisis tersebut lebih diakibatkan
oleh kurangnya kompetensi atau kesigapan dalam menghadapi situasi kritis,
maka dalam melakukan respon berupa rencana dan tindakan perusahaan masih
mungkin untuk dapat memunculkan kembali sikap
optimis dan harapan dengan memberikan jaminan dan kepastian kepada para
pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya bahwa “perusahaan akan mampu
menangani krisis.”
Tidak ada satu celah sekecil apapun yang
boleh diabaikan.
Dalam keadaan krisis, para pimpinan
dalam perusahaan harus mengambil langkah-langkah alternatif secara komprehensif dan terkoordinasi
baik
sehingga tidak terjadi kepanikan seperti kecemasan para
pelanggan akan pasokan, kekuatiran para karyawan akan kelangsungan hidup
perusahaan, kepercayaan para pemegang saham, bahkan hingga adanya upaya-upaya
dari para pesaing yang dapat secara tidak langsung mempergunakan situasi krisis
yang dihadapi perusahaan sebagai peluang untuk mengambil pangsa pasar.
Komunikasikan
tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan secara terbuka dan konsisten. Buat
pemberitahuan resmi mengenai tenggat waktu tindakan
awal untuk dapat secara realistis mengatasi situasi krisis tersebut misalnya 24-jam
atau 48-jam, sehingga akan sangat membantu pemulihan kepercayaan terhadap perusahaan.
Tentunya tindakan-tindakan nyata yang disertai
sikap sungguh-sungguh dalam menangani krisis tersebut sangat perlu dapat
dilihat dan didengar oleh publik.
Bila perusahaan akhirnya
dapat melewati krisis tersebut, untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukan, yang
perlu dilakukan dengan segera adalah menjadikan kejadian tersebut sebagai pelajaran
penting untuk tidak sampai terulang di waktu yang akan datang. Namun
bukan laporan-laporan apalagi slogan-slogan yang diperlukan tetapi sebuah
kodifikasi/penyusunan dari tindakan-tindakan penanganan krisis dan hal pertama yang sangat
penting adalah adanya upaya-upaya pencegahan terhadap berbagai
kemungkinan-kemungkinan berkembangnya keadaan kritis menjadi sebuah krisis
atau bahkan krisis yang multi-dimensional.
Selain keharusan penyusunan
sistem penanganan krisis yang memadai, penting untuk dipahami bahwa setiap krisis bukan
saja mengakibatkan kerugian dalam aspek operasional dan keuangan banyak pihak tetapi
juga akan meninggalkan bekas luka psikologis sehingga segera setelah
perusahaan berhasil menangani krisis merupakan waktu yang tepat juga bagi perusahaan untuk meninjau ulang program
kemasyarakatan yaitu CSR
atau Corporate Social Responsibility.
Memang ada ungkapan bahwa dalam setiap keadaan krisis akan disertai
kesempatan/oportunitas, namun kita
perlu secara
bijaksana menyikapi setiap keadaan kritis yang dapat dipastikan selalu akan ada
agar tidak berkembang menjadi krisis
sebab
ungkapan tentang ada kesempatan dalam setiap krisis tersebut mungkin lebih pas bagi para
pesaing perusahaan anda.
No comments:
Post a Comment