We
have a life time to work,
but our children are only young once.
“Popo,
jadi belikan aku balon di samping Gereja ya” terdengar suara polos anak kecil penuh
harap. Saya menengok ke arah suara tersebut. Seorang anak berusia sekitar 4 thn
yang merajuk pada seorang wanita paruh baya yang kemungkinan besar adalah neneknya.
“Di rumah kan sudah ada yang dibeli minggu lalu,” jawab seorang wanita muda lain
yang ternyata adalah ibunya. Saya meneruskan berjalan namun kemudian dari dalam
mobil di tempat parkir, saya melihat sang anak yang kebetulan lewat di samping
mobil kami, dia tersenyum gembira sambil membawa dan memandangi balonnya.
Saya
teringat pengalaman pribadi ketika anak-anak kami masih balita yang juga
seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya menyukai balon beraneka warna. Di
suatu akhir pekan, baru saja tiba di tempat parkir sebuah tempat wisata, anak
pertama kami minta dibelikan balon yang banyak ditawarkan oleh pedagang-pedagang
mainan. Otomatis anak kedua yang hanya beda usia 1 tahun minta dibelikan juga.
Isteri saya sudah akan menawar ketika saya katakan untuk membeli nanti saja saat
akan pulang karena saya membayangkan seperti biasa setelah 1 atau 2 jam senang dengan
balon2 tersebut, kami-lah yang kemudian akan membawa balon-balon tersebut kesana
kemari J.
Anak-anak
kami tentu kecewa namun mereka bukan anak-anak yang suka menangis dan merengek bila
keinginan mereka tidak dipenuhi. Terkadang anak pertama kami memang tidak mau
beranjak pergi dari tempatnya sebelum dibelikan sesuatu yang dia inginkan.
Namun dengan iming-iming dan terkadang dengan paksaan disertai ancaman akan
meninggalkannya, kami biasanya ‘berhasil’ menunda permintaannya. Ketika sore
hari dan waktunya untuk pulang, anak pertama kami begitu semangat menggandeng tangan
saya dan ketika saya bertanya apa dia tidak lelah setelah seharian bermain, dia
menjawab tidak sambil terus tersenyum. Namun ketika hampir tiba di pelataran
parkir, anak kami mendadak menghentikan langkahnya dan dia menengok ke sana kemari. Rupanya dia
sedang mencari-cari para penjual balon yang pagi tadi ada banyak di sana.
“Papa, tukang balonnya dimana? Koq ga ada?” Matanya berkaca-kaca dan air
matanya mulai mengalir menuruni pipinya. Bukan hanya sekali dua kali kejadian
serupa terjadi karena alasan kepraktisan maupun karena kesibukan kami berdua ketika
itu dalam mengejar karir.
Saya
bukan ingin membenarkan tindakan nenek sang anak di Gereja tadi pagi, yang sering
oleh pasangan2 muda dianggap memanjakan anak. Memang perlu untuk menanamkan
pengertian kepada anak-anak namun pikirkanlah bahwa kita memiliki waktu banyak
sepanjang hidup kita untuk bekerja, namun masa kanak-kanak hanya dilewati
sekali saja.
Tahun
1998 ketika dua dari tiga anak-anak kami memasuki usia awal remaja, isteri saya
memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga dan memberikan hampir seluruh
waktunya untuk pendidikan anak-anak dan keluarga. Hasilnya tidak main-main
karena anak-anak kami tersebut bukan saja mendapat nilai-nilai akademis yang
mengagumkan dan mendapatkan beasiswa serta kemudian berhasil dalam menekuni
karir mereka masing-masing, tetapi juga mereka adalah anak-anak yang pantas
kami banggakan dalam hal sosial dan spiritual.
Kita semua maklum bahwa
banyak sekali tantangan dan perubahan baik fisiologis dan terutama psikologis
ketika seorang anak memasuki usia remaja dan/atau dewasa muda. Sehingga bukan saja
kita hanya menjadi parents (orang tua) tetapi terlebih juga harus menyediakan waktu untuk menjadi
partners (rekan-rekan) mereka.
Mari siapkan diri kita menjadi orang tua yang bisa membimbing anak-anak kita
dengan benar.
Santa Monika, BSD
29.01.2012
Santa Monika, BSD
29.01.2012
No comments:
Post a Comment